![]() |
Gambar Ilustrasi Google (Istimewa) |
Media Jejakinvestigasi.id ||
Majalengka – Dugaan pelanggaran hukum atas penguasaan Tanah Kas Desa (TKD) dan Tanah Titisara Desa Ciparay oleh PT Kaldu Sari Nabati semakin menguat setelah Kepala Desa Ciparay, Saidi, mengakui bahwa sejak tahun 2018 belum ada legalisasi resmi atau dokumen sah terkait tukar guling lahan tersebut."Selasa (18/03/2025)
Fakta ini mengindikasikan adanya unsur pembiaran, kelalaian, atau bahkan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kepala Desa Ciparay. Pasalnya, meskipun tidak ada dokumen sah, perusahaan telah menutup lahan desa dengan benteng, yang jelas-jelas membatasi akses masyarakat terhadap aset desa yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum.
Pakar Hukum Sekaligus Pemerhati Lingkungan Uud Nurulhuda.SH, menegaskan bahwa Kades Ciparay Saidi Diduga ada Maen dengan PT Kaldu Sari Nabati Majalengka dengan menguasai Tanah Kas Desa (TKD) dan Tanah Titisara di Desa Ciparay sejak 2018 tanpa dasar hukum yang jelas.
"Kami mendesak kepada APH dan Pemkab Majalengka untuk segera mengaudit Tanah Kas Desa (TKD) dan Tanah Titisara di Desa Ciparay sejak 2018 yang diduga sudah dibangun benteng dan dikuasai PT Kaldu Sari Nabati, tanpa izin resmi.
dialihkan tanpa prosedur yang sah, dan tindakan ini jelas berpotensi melanggar hukum," ujar Uud Nurulhuda.SH.
Berdasarkan hasil investigasi perusahaan tersebut menguasai dua bidang tanah di Dusun Mekarsari, yakni:
- Tanah Kas Desa seluas 3.792 m² di Blok Makam Cina.
- Tanah Titisara seluas 2.519 m² di Blok Ciranggon.
Lahan tersebut kini telah tertutup benteng yang dibangun oleh perusahaan, meskipun belum ada dokumen sah terkait tukar guling atau izin resmi dari pemerintah setempat.
"Pemerintah Kabupaten Majalengka dan Inspektorat harus segera melakukan audit investigasi terhadap pengelolaan aset desa di Ciparay. Jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat,"Uud Nurul Huda.SH
Kepala Desa Ciparay, Saidi, Ketika Di wawancara oleh awak media pada Senin, (17/3) mengakui bahwa sejak 2018 belum ada legalisasi resmi atas lahan tersebut. Ia menyebut desa menerima lahan pengganti dari perusahaan, namun statusnya hanya sebatas pinjaman hingga proses legal selesai.
"Saat awak media meminta menunjukan Document Kesempatan hasil dari Musyawarah Desa (Musdes) dengan Pihak perusahaan saat itu, dirinya berkilah meminta ijin dahulu dengan Para Perangkatnya dan yang lainya nanti Minggu Depan ya pa.! "Ucap Kades Saidi
Penguasaan tanah tanpa dasar hukum ini diduga melanggar sejumlah aturan, di antaranya:
Pasal 167 dan 385 KUHP tentang penyerobotan tanah :
- Permendagri No. 1 Tahun 2016 tentang pengelolaan aset desa.
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) yang melarang penguasaan tanah tanpa alas hak yang sah.
- Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur kewajiban kepala desa dalam menjaga aset desa.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, jika ditemukan unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan desa.
Dalam konferensi pers, Senin (17/3), Uud Nurulhuda.SH meminta aparat hukum segera bertindak.
"Kami juga meminta aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, untuk menyelidiki dugaan tindak pidana penyerobotan tanah dan penyalahgunaan wewenang. Jika terbukti ada unsur pidana, pihak yang terlibat harus bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku," ujar Uud Nurulhuda.SH
Ia juga meminta Pemerintah Desa Ciparay untuk menjelaskan kepada masyarakat alasan lahan desa bisa dikuasai pihak swasta tanpa dasar hukum yang jelas.
1. Dugaan Pembiaran dan Kelalaian
Sebagai kepala desa, Saidi seharusnya menjadi penjaga aset desa dan memastikan bahwa Tanah Kas Desa tetap dikelola sesuai aturan. Namun, justru terjadi pembiaran selama lebih dari 6 tahun, yang mengakibatkan tanah desa dikuasai perusahaan tanpa izin sah.
Mengapa tidak ada tindakan sejak awal?
Mengapa lahan bisa dibangun benteng tanpa izin resmi?
Apakah ada kepentingan tertentu di balik pembiaran ?
2. Pelanggaran Aturan Pengelolaan Aset Desa
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 2016, tanah kas desa tidak boleh dialihkan tanpa izin resmi dari bupati/wali kota, dan jika luasnya lebih dari 10 hektar, harus mendapat persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri.
Dalam hal ini, Kepala Desa Ciparay gagal menjalankan kewajibannya untuk:
Mengurus izin tukar guling sebelum tanah digunakan oleh pihak ketiga.
Menjaga dan mempertahankan aset desa agar tidak dikuasai oleh perusahaan tanpa prosedur yang jelas.
Transparan kepada masyarakat mengenai status dan pengelolaan tanah desa.
3. Dugaan Penyalahgunaan Wewenang
Jika terbukti bahwa pembiaran ini dilakukan dengan sengaja atau ada unsur kepentingan tertentu, maka tindakan Kepala Desa Ciparay dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang, yang berpotensi melanggar:
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya untuk menguntungkan pihak lain dan merugikan negara/desa dapat dijerat hukum.
Pasal 421 KUHP tentang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya dalam jabatan untuk kepentingan pihak lain.
Pasal 385 KUHP yang mengatur tentang penggelapan hak atas tanah yang bukan miliknya.
Jika benar lahan pengganti yang diberikan oleh PT Kaldu Sari Nabati hanya berstatus pinjaman, maka desa tidak benar-benar mendapatkan kompensasi yang sah, sehingga Kepala Desa Ciparay dapat dianggap telah mengorbankan aset desa tanpa dasar hukum yang kuat.
Atas dugaan pelanggaran ini, UUD Nurulhuda.SH Meminta Pemda Kabupaten Majalengka mendesak:
1. Pemerintah Kabupaten Majalengka segera memeriksa Kepala Desa Ciparay, Saidi, terkait dugaan pembiaran dan kelalaian dalam mengelola aset desa.
2. PT Kaldu Sari Nabati harus menghentikan penguasaan lahan dan membongkar benteng yang telah dibangun tanpa izin.
3. Kejaksaan Negeri Majalengka harus menyelidiki potensi tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh Kepala Desa Ciparay.
4. Pemerintah Desa Ciparay wajib memberikan transparansi kepada masyarakat terkait status tanah desa, serta memastikan bahwa aset desa tetap terjaga sesuai aturan hukum yang berlaku.
Dugaan pembiaran oleh Kepala Desa Ciparay, Saidi, menjadi cerminan lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan dalam melindungi aset desa. Jika tidak ada langkah hukum yang tegas, kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi pengelolaan Tanah Kas Desa di wilayah lain.
Masyarakat Ciparay berhak menuntut transparansi dan keadilan dalam pengelolaan aset desa, agar tidak ada lagi pihak swasta yang menguasai lahan desa secara ilegal dengan dalih tukar guling yang tidak jelas.
Jika terbukti ada unsur pidana, baik perusahaan maupun pejabat yang terlibat dapat dijerat hukum, termasuk tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Kasus ini menjadi peringatan bagi seluruh desa agar lebih berhati-hati dalam mengelola asetnya guna mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.**
Pewarta.
(Yudi Hidayat)