![]() |
Saya menulis artikel ini dengan tangan gemetar dan hati yang penuh luka. Sebagai antropolog yang telah lama meneliti konflik dan perdamaian, saya tidak pernah menyangka bahwa sebuah negara yang mengklaim dirinya sebagai demokrasi akan melancarkan serangan militer ke wilayah negara lain—Qatar—tepat di tengah perundingan damai. Serangan udara Israel ke Doha, yang menewaskan anggota delegasi Hamas dan bahkan seorang petugas keamanan Qatar, bukan hanya pelanggaran hukum internasional. Ia adalah pembunuhan terhadap harapan, terhadap diplomasi, terhadap kemanusiaan.
Diplomasi yang Dibunuh
Pada saat delegasi Hamas sedang membahas proposal gencatan senjata yang didukung Amerika Serikat, Israel melancarkan serangan udara yang disebut sebagai operasi “Summit of Fire.” Lima anggota Hamas tewas, termasuk putra dari kepala negosiator Khalil Al-Hayya. Serangan ini bukan hanya menyasar individu, tetapi simbol perdamaian itu sendiri. Qatar, sebagai mediator, menjadi korban langsung dari agresi yang tidak berperikemanusiaan.
Dalam perspektif antropologis, tindakan ini adalah bentuk ekstrem dari *state criminality* yang dijelaskan oleh Ronit Lentin sebagai “pengecualian yang dilembagakan” dalam sistem kolonial pemukim yang terus-menerus meracialisasi dan mendiskreditkan pihak Palestina (Lentin, 2016). Israel tidak hanya menyerang tubuh, tetapi juga menyerang makna dan simbol dari diplomasi itu sendiri.
Kekerasan Negara dan Dialektika Penindasan
James Ron menyebut tindakan seperti ini sebagai bentuk “savage restraint”—pengekangan brutal yang dilakukan negara dengan dalih legalitas (Ron, 2000). Serangan ke Qatar menunjukkan bahwa Israel tidak lagi menahan diri dalam kerangka hukum internasional. Ia telah melampaui batas-batas yang bahkan oleh negara-negara agresif sekalipun dianggap tabu: menyerang wilayah negara ketiga yang sedang menjadi tuan rumah perundingan damai.
Lebih jauh, Ron (1997) menjelaskan bahwa negara seperti Israel menggunakan berbagai metode kekerasan yang bervariasi, tergantung pada konteks dan tujuan politiknya. Dalam kasus ini, serangan ke Qatar adalah bentuk kekerasan simbolik dan strategis yang bertujuan menggagalkan proses damai dan memperpanjang konflik.
Dari Rezim Represif ke Ledakan Bunuh Diri
Bader Araj (2008) menunjukkan bahwa represi negara yang brutal sering kali menjadi pemicu utama aksi bom bunuh diri. Ketika diplomasi dibunuh, ketika ruang negosiasi dihancurkan, maka yang tersisa hanyalah jalan kekerasan. Serangan ke Qatar bukan hanya akan memperpanjang perang, tetapi juga akan melahirkan generasi baru yang kehilangan kepercayaan pada proses damai.
Ariella Azoulay (2011) menyebut pendirian negara Israel sebagai deklarasi perang yang terus berlangsung. Serangan ke Qatar adalah kelanjutan dari deklarasi itu—bukan dalam bentuk kata-kata, tetapi dalam bentuk rudal dan ledakan. Ini adalah bentuk kolonialisme yang tidak hanya merampas tanah, tetapi juga merampas ruang diplomasi dan perdamaian.
Antropologi dari Luka dan Perlawanan
Sebagai antropolog, saya melihat bahwa luka kolektif bangsa Palestina dan dunia Arab kini semakin dalam. Serangan ke Qatar adalah pesan bahwa tidak ada tempat yang aman, bahkan meja perundingan pun bisa menjadi medan perang. Namun, dari luka ini juga lahir solidaritas. Negara-negara seperti Turki, Pakistan, Ghana, dan Afghanistan telah menyuarakan kemarahan mereka. Dunia tidak boleh diam.
Kita sedang menyaksikan bukan hanya perang antar negara, tetapi perang terhadap makna perdamaian itu sendiri. Dan dalam perang seperti ini, diam adalah bentuk kolaborasi. Jika dunia tidak segera bertindak, maka sejarah akan mencatat bahwa diplomasi pernah dibunuh di Doha. Dan kita semua adalah saksi bisu dari pembantaian itu.[]