![]() |
Gambar ilustrasi Google (Istimewa) |
Jejakinvestigasi.id || Donggala – Kasus perundungan terhadap seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Desa Sumari, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, kini memasuki babak baru. Upaya damai yang sebelumnya difasilitasi pihak kepolisian bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) kandas, setelah ibu korban menolak perdamaian dan meminta kasus ini diproses secara hukum.
Kronologi Perundungan Brutal di Dalam Kelas.
Peristiwa memilukan itu terjadi di dalam ruang kelas, ketika tiga siswi lain secara bergiliran melampiaskan aksi perundungan terhadap korban. Korban tidak hanya dilucuti jilbab dan pakaiannya, bahkan roknya pun ditarik paksa hingga membuatnya menangis ketakutan.
Tak berhenti di situ, rambut korban dijambak, kepalanya ditoyor, dan wajah serta tubuhnya berkali-kali dipukul. Perundungan tersebut berlangsung di depan teman-teman sekelas, sehingga menimbulkan trauma mendalam bagi korban.
Upaya Mediasi Gagal, Ibunda Korban Cabut Perdamaian
Kapolres Donggala, AKBP Angga Dewanto Basari, menegaskan kasus ini tidak lagi bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Diproses. Sudah ditangani Polres,” tegas Angga, Senin (15/9) sore.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Donggala, Iptu Bayu Dhamma, mengungkapkan bahwa sebelumnya mediasi sempat dilakukan di tingkat Polsek. Saat itu korban hanya didampingi neneknya, sementara ketiga pelaku hadir bersama kedua orang tua mereka masing-masing.
“Mediasi sempat berhasil, mereka sepakat damai. Tapi ibunya korban kemudian tidak menerima, sehingga perdamaian dicabut,” jelas Bayu.
Setelah pencabutan itu, polisi meminta sang ibu membuat laporan resmi. “Kita sudah arahkan untuk membuat laporan polisi. Dan baru saja datang ibunya melapor,” tambahnya.
Kini penyidik Polres Donggala akan memeriksa sejumlah saksi, termasuk korban sendiri, untuk mengusut kasus perundungan ini hingga tuntas.
Korban Tinggal Bersama Nenek, Orang Tua Bercerai
Fakta lain yang terungkap, korban ternyata sudah lama hidup tanpa pengasuhan langsung dari orang tuanya. Sejak duduk di bangku kelas V Sekolah Dasar, ia hanya tinggal bersama neneknya setelah kedua orang tuanya bercerai. “Selama ini, yang urus korban neneknya,” terang Bayu.
Sementara ibunya diketahui bekerja sebagai ibu rumah tangga, begitu pula orang tua pelaku yang sebagian besar hanya bekerja sebagai petani dan ibu rumah tangga. Kondisi ekonomi keluarga korban maupun pelaku relatif serupa, tetapi kasus perundungan ini tetap memunculkan luka sosial yang dalam.
Bupati Donggala: Sekolah Harus Lebih Ketat Mengawasi
Bupati Donggala, Vera Elena Laruni, ikut angkat bicara. Ia mengaku telah memerintahkan Dinas Pendidikan untuk mengevaluasi sistem pengawasan di sekolah-sekolah, agar kasus serupa tidak kembali terulang.
“Kami sudah minta kepada pihak sekolah agar meningkatkan pengawasan di lingkungan masing-masing, terutama saat jam belajar mengajar,” ujar Vera.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya keterlibatan orang tua dalam mengawasi dan mendidik anak, tidak hanya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah.
“Pengawasan harus dilakukan dua sisi, baik di rumah maupun sekolah, agar aksi perundungan dan kekerasan anak bisa dicegah sejak dini,” tegasnya.
Trauma Mendalam dan Pertanyaan Publik
Kasus ini menimbulkan gelombang keprihatinan di masyarakat, terutama karena perundungan terjadi di ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat aman bagi peserta didik. Tindakan pelucutan pakaian di depan teman sebaya dinilai sebagai bentuk pelecehan serius yang berpotensi merusak psikologis korban dalam jangka panjang.
Kini publik menunggu langkah tegas aparat kepolisian, apakah ketiga pelaku yang masih di bawah umur akan dikenai sanksi sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak, atau ada opsi khusus yang menyeimbangkan aspek hukum dengan pendidikan.
Satu hal yang jelas, kasus ini menjadi alarm keras bagi sekolah, keluarga, dan pemerintah daerah bahwa perundungan bukan lagi sekadar “kenakalan remaja”, melainkan kejahatan yang dapat merusak masa depan generasi muda.***