Notification

×

Iklan

Iklan

Tinjauan Hukum Komparatif dan Implikasi Kekuasaan Dekretorik

Sabtu, Agustus 30, 2025 | Agustus 30, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-30T09:40:06Z

 

Oleh Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.


Jejakinvestigasi.id || Jakarta - Penggunaan kekuasaan dekretorik di berbagai negara menunjukkan bahwa meskipun tindakan ini bisa menjadi alat yang efektif dalam kondisi krisis, ia juga membawa risiko serius terhadap tatanan demokrasi.


Analisis terhadap penggunaan dekret-hukum (decree-laws) dalam konteks krisis ekonomi dan keuangan di Spanyol, seperti yang disampaikan oleh Ana M. Carmona Contreras, menegaskan bahwa penggunaannya yang masif dapat menimbulkan "defisit demokrasi" yang signifikan. Carmona Contreras berpendapat bahwa meskipun dekret-hukum dapat dibenarkan secara konstitusional dalam kondisi darurat, karakter provisionalnya mengharuskan adanya pengesahan dari parlemen untuk memperoleh legitimasi demokratis penuh. Dalam konteks Indonesia, persetujuan DPR terhadap Perppu seharusnya tidak hanya menjadi formalitas, tetapi berfungsi sebagai mekanisme fundamental untuk menjamin akuntabilitas dan mencegah sentralisasi kekuasaan.   


Peran Tinjauan Yudisial: Menjaga Akuntabilitas Eksekutif


Peran tinjauan yudisial (judicial review) menjadi sangat penting sebagai pengawas terhadap kekuasaan darurat eksekutif. Hatice Demirtas menjelaskan bahwa pengadilan dapat dan harus meninjau keberadaan keadaan yang membenarkan kekuasaan luar biasa, serta penyalahgunaan kekuasaan (détournement de pouvoir). Menurutnya, meskipun pengadilan sering kali menunjukkan sikap tunduk kepada cabang politik, para hakim harus "mengambil kembali hak prerogatif tinjauan mereka" jika keadaan darurat menjadi "paradigma baru pemerintahan," bukan sekadar pengecualian. Prinsip ini sangat relevan bagi Indonesia, di mana Mahkamah Konstitusi memiliki peran untuk menguji apakah Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden benar-benar didasarkan pada "hal ikhwal kegentingan yang memaksa" dan tidak digunakan untuk tujuan politik yang menyimpang.   


Sejarah Kekuasaan Dekrit dan Supremasi Legislatif


Otto Kirchheimer, dalam analisisnya tentang kekuasaan dekret di Prancis di bawah Republik Ketiga, menguraikan bagaimana kekuasaan luar biasa sering kali diberikan melalui delegasi parlemen (enabling acts). Namun, ia mencatat bahwa meskipun parlemen bermaksud mempertahankan kontrol, pada praktiknya, eksekutif sering kali mengeluarkan dekret yang melampaui batas kewenangan awal yang diberikan. Hal ini menunjukkan adanya risiko inheren dalam memberikan kekuasaan legislatif yang luas kepada eksekutif, di mana kekuasaan tersebut dapat mengikis supremasi legislatif yang menjadi fondasi demokrasi parlementer. Dalam konteks Indonesia, hal ini menjadi peringatan bahwa persetujuan DPR terhadap Perppu, meskipun penting, tidak sepenuhnya menghilangkan risiko bahwa eksekutif dapat menggunakan kekuasaan tersebut untuk tujuan yang tidak sesuai dengan mandat awal.   


Wacana tentang "pemerintahan melalui dekrit" atau rule by decree secara historis sering kali menjadi ciri khas pemerintahan otoriter, di mana kekuasaan ini digunakan untuk memintas proses legislatif konvensional dan memungkinkan promulgasi hukum yang cepat dan tanpa tantangan. 


Buku Marguerite A. Sieghart yang berjudul "Government by Decree: A Comparative Study of the History of the Ordinance in English and French Law" (1950) secara komprehensif mengkaji fenomena ini. Para ahli seperti filsuf Italia Giorgio Agamben memperingatkan bahwa ledakan penggunaan berbagai jenis dekret sejak Perang Dunia I merupakan tanda dari "generalisasi keadaan darurat," di mana tindakan luar biasa menjadi hal yang biasa. Contoh-contoh historis seperti Dekret Kebakaran Reichstag di Jerman pada tahun 1933, yang digunakan oleh Kanselir Adolf Hitler untuk menangguhkan hak-hak sipil dasar dan menyingkirkan oposisi, menunjukkan bagaimana kekuasaan dekret dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menuntun sebuah negara ke arah pemerintahan satu-partai.   


Kesimpulan dan Pertimbangan Kebijakan

Analisis historis, yuridis, dan komparatif menunjukkan bahwa wacana "Dekrit Presiden" harus ditinjau dengan hati-hati. Meskipun UUD 1945 menyediakan mekanisme hukum yang valid dalam bentuk Perppu untuk menangani "hal ihwal kegentingan yang memaksa," tindakan tersebut secara fundamental berbeda dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang bersifat ekstra-konstitusional dan mengubah struktur negara secara total.


Situasi yang dihadapi Indonesia saat ini, yang digambarkan sebagai "polikrisis," memang kompleks dan genting. Namun, langkah untuk menggunakan kekuasaan dekretorik sebagai solusi tunggal adalah tindakan yang berisiko tinggi. Penggunaan Perppu dapat mengikis supremasi legislatif dan berpotensi membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan, terutama jika mekanisme persetujuan DPR hanya menjadi formalitas. Sejarah dan pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kekuasaan dekretorik yang tidak terkontrol dapat menjadi pintu gerbang menuju otoritarianisme dan penangguhan hak-hak dasar.


Oleh karena itu, laporan ini menyimpulkan bahwa solusi yang lebih kokoh dan berkelanjutan untuk mengatasi "polikrisis" yang ada tidak terletak pada sentralisasi kekuasaan di tangan eksekutif, tetapi pada perbaikan institusi demokrasi itu sendiri. Dengan mengambil pelajaran dari sejarah, yaitu akibat dari Dekrit 1959 yang membatasi demokrasi, dan dari tinjauan komparatif, yaitu pentingnya pengawasan yudisial dan legislatif, disarankan agar pemerintah dan seluruh cabang kekuasaan fokus pada: 1) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas DPR; 2) menjamin bahwa kritik dan aspirasi rakyat direspons dengan empati dan tindakan nyata, bukan dengan pernyataan yang merendahkan; dan 3) memastikan bahwa setiap tindakan luar biasa yang diambil tetap berada di bawah pengawasan ketat supremasi hukum dan konstitusi. Mempertahankan dan memperkuat fondasi demokrasi adalah jalan yang lebih aman untuk menjaga stabilitas negara dalam jangka panjang.**


×
Berita Terbaru Update