Notification

×

Iklan

Iklan

Puisi Teaterikal: Banjir Sumatera, Ketika Hutan Dijarah dan Rakyat Menjadi Korban.

Senin, Desember 01, 2025 | Desember 01, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-01T00:14:12Z

 


Oleh: Kang Aceng Tea 


Jejakinvestigasi.id || Jakarta - Banjir Sumatera bukan sekadar bencana alam, ini adalah bencana ekologis, bahkan kejahatan ekologis yang telah berlangsung bertahun-tahun dan baru sekarang menampakkan wajah aslinya.


Coba kita lihat di Jakarta, ketika banjir datang, kita melihat tumpukan sampah plastik terbawa arus, tetapi di Sumatera, ketika air naik, yang hanyut justru gelondongan kayu.


Ini adalah bukti paling telanjang bahwa hutan kita telah ditebang habis-habisan, bahwa di hulu, tempat air seharusnya diserap oleh akar-akar pohon, justru dipenuhi sawit, tambang dan gelondongan kayu sisa penebangan, bukan hutan lagi, tapi ladang industri rakus yang memeras bumi tanpa menghiraukan masa depan.


Curah hujan tidak menebang pohon, iklim tidak pernah membawa chainsaw, yang melakukan itu adalah manusia—dan lebih menyakitkan lagi, aktivitas itu sering kali dilindungi oleh izin, dilegalkan oleh regulasi yang longgar, dan dibiarkan oleh pengawasan negara yang lemah.


Setiap batang kayu yang hanyut itu adalah bukti kegagalan dalam menjaga ekosistem, setiap rumah yang terseret banjir adalah bukti pembiaran yang sistematis, dan setiap korban jiwa adalah harga yang dibayar rakyat akibat kerakusan segelintir pihak.


Kita tidak boleh lagi menutup mata, tidak boleh lagi menerima alasan-alasan klise seperti “curah hujan tinggi” atau “anomali cuaca global”, alasan itu hanya menutupi fakta bahwa hutan Sumatera dihancurkan secara terstruktur, masif, dan berulang.


Negara tidak boleh kalah oleh mafia hutan, negara tidak boleh tunduk pada kepentingan ekonomi yang menggerus masa depan rakyat, dan negara tidak boleh tinggal diam ketika alam menjerit meminta keadilan.


Sumatera bukan hanya tanah yang luas dan subur, Sumatera adalah rumah jutaan rakyat, tetapi hari ini, rumah itu sedang dilanda banjir bukan karena air, melainkan karena keputusan-keputusan salah yang menebangi hutan tanpa memikirkan generasi mendatang.


Bila hari ini kita tidak bersuara, bila hari ini kita tidak menuntut perubahan, maka banjir ini bukan yang terakhir. Dan yang lebih mengerikan: kita sedang membiarkan Indonesia kehilangan salah satu pilar ekologis terpentingnya.


Banjir Sumatera bukan sekadar air yang meluap—ini adalah peringatan keras bahwa hutan kita sedang sekarat, dan jika hutan sekarat, maka bangsa ini ikut sekarat.[]


*Penulis,

Sang Penyair Jalanan

dari Tatar Sunda.



Sumber: ASH

Editor: Tim Redaksi

×
Berita Terbaru Update