![]() |
Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Banda Aceh - Aceh kembali berduka. Pohon Jeju—yang dikenal secara ilmiah sebagai Peltophorum pterocarpum dan secara lokal sebagai Bak Hasan Teunget—telah ditebang secara ilegal di kawasan Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Pohon ini bukan sekadar vegetasi; ia adalah ikon musiman, simbol keindahan, dan ruang sosial yang menyatukan warga kota. Bunganya yang kuning cerah sempat viral di media sosial, dijuluki “Jeju Aceh” karena kemiripannya dengan cherry blossom Korea Selatan.
Namun, pada awal Juli 2025, pohon tersebut ditebang oleh oknum tak dikenal. Pemerintah Kota Banda Aceh menyatakan bahwa tindakan ini adalah pelanggaran serius terhadap Qanun Kota Banda Aceh No. 6 Tahun 2018 tentang Ruang Terbuka Hijau. Ketua DPRK Banda Aceh, Irwansyah, bahkan menyebut pelaku sebagai “bukan orang yang sehat jiwanya” dan menegaskan bahwa penebangan ini menyayat hati warga kota.
Dendrophobia: Antropologi Psikologis Ketakutan terhadap Pohon Fenomena penebangan pohon oleh individu yang diduga mengidap dendrophobia—fobia terhadap pohon—menarik untuk dikaji secara antropologis. Dalam konteks Aceh, dendrophobia bukan hanya gangguan psikologis, tetapi juga bisa dimaknai sebagai ketakutan simbolik terhadap alam yang hidup dan tak terkendali.
Menurut Schwab (2021: 248), pohon dalam banyak budaya bukan hanya makhluk biologis, tetapi entitas relasional yang mengikat manusia dengan tanah, waktu, dan spiritualitas. Ketakutan terhadap pohon bisa muncul dari trauma, persepsi ancaman, atau bahkan ideologi yang memandang alam sebagai sesuatu yang harus ditundukkan.
Rival (2021: 3) menekankan bahwa pohon memiliki “kehidupan sosial” yang kompleks—ia menjadi tempat berkumpul, penanda sejarah, dan simbol identitas. Maka, penebangan pohon seperti Jeju bukan hanya kehilangan fisik, tetapi juga penghapusan makna sosial dan spiritual.
Dalam konteks Aceh pasca-tsunami, Chaidar (2023: 12) mencatat bahwa pembangunan sering kali mengabaikan ruang ekologis dan simbolik masyarakat. Penebangan pohon menjadi bagian dari “tragedi kepemilikan bersama” di mana ruang publik dikorbankan demi kepentingan sempit atau ketakutan yang tidak rasional.
Penebangan pohon Jeju di Ulee Lheue adalah cermin dari krisis ekologis dan psikososial yang lebih dalam. Kita tidak hanya kehilangan pohon, tetapi juga kehilangan kepekaan, kehilangan ruang bersama, dan kehilangan arah dalam menjaga warisan alam.
Sudah saatnya Aceh merumuskan kebijakan perlindungan pohon berbasis budaya dan psikologi sosial. Pemerintah harus memperkuat regulasi, masyarakat harus membangun kesadaran, dan akademisi harus terus mengingatkan bahwa pohon bukan musuh—ia adalah sahabat yang diam, namun penuh makna.[]