Jejakinvestigasi.id || Sumedang - Rapat Minggon di Kecamatan Cimalaka seharusnya menjadi agenda rutin yang adem ayem, forum untuk menyelaraskan program dan pelayanan warga. Namun kali ini, yang terjadi justru sebaliknya. Acara yang mestinya jadi ajang diskusi dan koordinasi berakhir ambyar: rombongan kepala desa memilih walk out, bukan karena rapat selesai, tapi karena kesabaran mereka habis disedot oleh gaya kepemimpinan Camat Yulia yang baru.
Pemicunya tampak sederhana: beberapa kepala desa berbisik ringan, hal yang mestinya bisa diabaikan atau ditangani dengan senyum. Namun Camat Yulia merespons dengan semprotan verbal. “Ngobrolnya di depan forum saja!” hardiknya. Kata-kata itu sebenarnya biasa saja, tapi nadanya, kata para kades yang hadir, lebih mirip perintah juru parkir daripada ucapan seorang pemimpin. Lidah yang seharusnya merangkul, justru memukul dan merendahkan.
Menurut pernyataan Camat Yulia yang dimuat sejumlah media online, dirinya hanya sedang melaksanakan tupoksi untuk bertindak tegas. Namun, tegas sangat berbeda dengan arogan, seperti ditegaskan salah seorang kepala desa: sikap yang dilontarkan Camat Yulia jauh lebih condong ke arogan ketimbang tegas. Lebih parah lagi, secara aturan, kepala desa tidak bertanggung jawab kepada camat, melainkan langsung kepada bupati, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014.
Seketika, suasana forum berubah tegang. Para kepala desa, ujung tombak pelayanan masyarakat, diperlakukan seperti murid SD yang salah tingkah di hadapan guru galak. Datang sebagai mitra, pulang dengan harga diri yang tergadai. Wajar jika mereka memilih walk out: siapa yang betah duduk manis saat pemimpinnya lebih galak daripada kepala sekolah, padahal adab—lebih utama daripada ilmu—harusnya jadi pondasi pertama kepemimpinan?
Kini, sikap para kepala desa jelas: komunikasi akan terhenti sampai ada permintaan maaf hitam di atas putih. Jabatan boleh sementara, tapi adab dan sopan santun adalah harga mati.
Ironisnya, seorang camat adalah wajah pemerintah di level paling dekat dengan warga. Wajah itu kini ternoda oleh lidahnya sendiri. Harusnya membangun jembatan, ini malah memasang tembok berduri. Harusnya menjadi payung peneduh, malah jadi petir di siang bolong.
Jika kepemimpinan diukur dari seberapa keras bentakan, semua orang bisa jadi camat. Namun memimpin sejati adalah seni merangkul, meneduh, dan menyejukkan. Camat Yulia kini diuji: apakah lidahnya bisa dijinakkan, atau dibiarkan memicu keretakan wibawa sebelum ia benar-benar tegak?
Dan pertanyaan satir yang menggantung: jika kepala desa saja diperlakukan seperti ini, bagaimana nasib warga biasa yang datang mengadu jalan rusak, meminta surat miskin, atau memohon pelayanan sederhana? Apakah mereka akan pulang membawa solusi, atau justru luka hati akibat lidah pejabat yang kehilangan kendali?***
Pewarta.
(Mulyana)