![]() |
Al Chaidar_Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe (alchaidar@unimal.ac.id) |
Jejakinvestigasi.id || Jakarta - Dunia terkejut dengan insiden pembunuhan terhadap para pekerja pembuat jembatan Transpapua pada 2 Desember 2018. Publik Indonesia semakin geram dengan munculnya terorisme yang hybrid (berkelindan) dengan separatisme. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) —organ paramiliter Organisasi Papua Merdeka (OPM )— menyatakan pihaknya bertangung jawab atas insiden penembakan 31 pekerja sipil yang terjadi di Nduga pada hari Minggu 2 Desember lalu.
OPM adalah kelompok teroris teritorial dan organik dan bersifat terorganisasi dan hirarkis. Hal ini dapat kita lihat sebagaimana Edy Kagoya mengomandoi penembakan itu, atas perintah Panglima Tertinggi Jenderal Goliath Tabuni. Menurut Tari Yikwainak Karoba, aktivis OPM, di setiap distrik sudah ada Komando Daerah Papua (KODAP)-nya. Jadi, penembakan itu atas perintah Komandan Distrik Papua (KODIP) Nduga, Letkol Egianus Kogoya. Letkol Egi berada di bawah Kodap VI La Pago yang wilayahnya membawahi Kodip Pegunungan Bintang, Wamena, Lani Jaya, Puncak Jaya, Nduga, Yakuhimo, Yalimo, Membramo Tengah dan Tolikara.
Tindakan membunuh orang-orang sipil untuk sekadar menunjukkan eksistensi kelompok secara politik adalah terorisme. Tujuan politik yang berkaitan dengan kekuasaan adalah terorisme. Terorisme adalah penggunaan kekerasan dan intimidasi yang melanggar hukum, terutama terhadap warga sipil, dalam mengejar tujuan-tujuan politik, “the unlawful use of violence and intimidation, especially against civilians, in the pursuit of political aims” (M Abrahms: 2006).
Banyak ilmuwan berusaha menjelaskan perilaku teroris dengan pendekatan pilihan rasional, “terrorism is (or was) an entirely rational choice” (Bruce Hoffman, 2006: 16). Terorisme sering digambarkan hari ini, sebagai gerakan kekerasan bersenjata, kriminal, terorganisir, disengaja, dan sistematis. Terorisme memiliki tujuannya dan pembenarannya — seperti bahwa terorisme kontemporer adalah penciptaan "masyarakat baru dan lebih baik" menggantikan sistem politik yang secara fundamental korup dan tidak demokratis (Bruce Hoffman, 2006: 25).
Apa yang dilakukan oleh kelompok OPM di Nduga tersebut adalah tindakan rasional, penuh maksud dan tujuan politik di mana mereka perlu menunjukkan eksistensi diri dan dunia diminta untuk memahami keinginan mereka yang sangat mencintai tanah tumpah darahnya. Mereka melakukan tindakan membunuh nyawa-nyawa sipil yang tak bersenjata dan tak berdosa itu “hanya” untuk menyatakan bahwa mereka punya visi tentang masyarakat baru yang lebih baik dari yang dimiliki oleh pemerintahan yang berkuasa sekarang yang jauh di Jakarta, yang jauh dari tempat mereka berada.
Bagi mereka, upaya mendirikan sistem baru adalah sebuah perjuangan yang bisa merenggut banyak nyawa: nyawa-nyawa mereka sendiri dan lebih seringnya justru nyawa-nyawa orang lain yang justru sedang membangun sesuatu yang baru buat mereka. Pemerintahan sekarang yang membangun Papua dianggap korup dan tidak demokratis, dan tentu saja mereka merasa tidak pernah dilibatkan dalam proyek pembangunan ini.
Terorisme adalah tindakan kekerasan itu sendiri, bukan motivasi atau pembenaran atau alasan di baliknya. Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat (DHS) menyatakan bahwa terorisme adalah kegiatan yang melibatkan tindakan yang: berbahaya bagi kehidupan manusia atau berpotensi merusak infrastruktur penting atau sumber daya utama; dan. . . terorisme harus tampak dimaksudkan (i) untuk mengintimidasi atau memaksa penduduk sipil; (ii) untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan intimidasi atau paksaan; atau (iii) untuk melakukan tindakan pemaksaan dengan pemusnahan massal, pembunuhan, atau penculikan. Semua tindakan ini sudah dilakukan oleh OPM di dalam rentang waktu sejak 1965 hingga 2018 sekarang. Tidak ada alasan ilmiah apapun untuk menolak menyebutkan OPM sebagai teroris. OPM didukung secara internasional oleh aktor-aktor negara seperti Vanuatu, Papua Nugini, dan beberapa organisasi negara semu (quasi-state organizations) lainnya di Eropa dan Asia Pasifik.
Pemerintah Indonesia yang selama ini terlihat agak kurang bersahabat dengan publik Islam tentu mencari aliansi oposisi biner dengan mendekati dan merangkul kelompok nonmuslim dan sekuler untuk menjadi sokoguru gerakan kebangsaan yang tidak memberikan peluang partisipasi bagi kelompok-kelompok Islam. Pemerintah dalam merespon terorisme OPM ini harus bertindak tegas bahwa setiap upaya merongrong kedaulatan negara harus dihadapi dengan kekuatan penuh untuk melindungi rakyat dan tanah tumpah darah ini, apapun risikonya. Mengundang mereka untuk makan siang bersama di istana adalah sebuah pengkhianatan terhadap kedaulatan negara.(Red/pim)**