Jejakinvestigasi.id | Jawa Barat, Perjalanan Dewan Pers hampir mendekati usia 20 tahun mulai dari tahun 2003 sampai 2022, apa yang sudah dilakukan Dewan Pers? Apakah sudah sesuai dengan amanat UU Pers No. 40 Tahun 1999 atau justru malah sebaliknya?
Amanah yang harus dijalankan Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers antara lain yaitu mengembangkan, menegakkan kemerdekaan pers, meningkatkan kehidupan pers nasional dan memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, disini penulis menyatakan dewan pers telah gagal total.
Dengan memiliki anggaran yang sangat besar sekitar milyaran rupiah dari pemerintah, Dewan Pers malah disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang tidak jelas dan melaksanakan program-program yang bukan merupakan tugas dan kewenangan Dewan Pers, seperti disibukkan bisnis Uji Kompetensi Wartawan (UKW), melakukan verifikasi organisasi wartawan dan perusahaan pers, menerbitkan beberapa peraturan kejurnalistikan seperti standar organisasi wartawan, standar perusahaan pers, membuat peraturan statuta dewan pers hanya untuk mempertahankan status quo, menerbitkan beberapa surat edaran yang diduga bersifat provokatif dan diskriminatif, serta sering oknum Dewan Pers sibuk mengeluarkan statement propaganda dan stigmatisasi ilegal (abal-abal) terhadap wartawan dan perusahaan pers diluar konstituennya sehingga menuai kritikan dan kecaman dari sebagian besar insan pers dan organisasi wartawan yang bukan konstituennya.
Penulis merasa prihatin atas manuver yang telah dilakukan dewan pers, bukannya untuk mengembangkan dan menegakkan kebebasan pers tetapi malah sebaliknya semakin mengkebiri, memperkosa, memporak - porandakan eksistensi pers dan memecah belah persatuan kesatuan wartawan, maka tidak salah kalau ada yang mengatakan bahwa manuver dewan pers hanya dalam rangka melanggengkan hegemoni kekuasaan dewan pers terhadap insan pers nasional.
Dengan anggaran milyaran rupiah yang dikelola dewan pers tetapi output dan outcame program kerjanya tidak terarah dan tidak sesuai amanat UU Pers, maka penulis berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung selaku institusi negara untuk menyelidiki anggaran negara yang dikucurkan kepada Dewan Pers dan jika ada temuan penyalahgunaan anggaran agar segera dieksekusi dan meminta Dewan pers untuk mempublikasikan penggunaan anggaran tersebut melalui situsnya dewanpers.or.id.
Ada beberapa poin yang ingin disampaikan pandangan penulis ke semua pihak agar dicermati tentang substansi dari UU Pers No. 40 Tahun 1999, antara lain;
1. Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan verifikasi organisasi wartawan dan perusahaan pers bukan tugas dan kewenangan Dewan Pers.
Propaganda Dewan Pers tentang legalitas wartawan dan perusahaan pers adalah yang sudah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan perusahaan pers harus terverifikasi oleh Dewan Pers, statement ini yang telah menuai kritikan dan kecaman sebagian besar insan pers dan perusahaan pers, kemudian berujung aksi demo besar-besaran yang dilakukan ribuan insan Pers dari berbagai media dan organisasi kewartawanan yang mengatasnamakan Koalisi Wartawan Indonesia Bersatoe di depan Gedung Dewan Pers pada hari Kamis (24/3/2022) dan saat itu dewan pers lari terbirit-birit bersembunyi dan tidak berani menghadapi para pendemo karena mereka jumlahnya hampir 80 persen lebih besar dari jumlah konstituennya.
Betulkah Dewan Pers memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan UKW atau lembaga apa yang berhak melaksanakan UKW sesuai peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.
Mari perhatikan pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang tertulis, “Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen”, dalam hal ini BNSP lah yang berhak mengeluarkan sertifikasi Kompetensi, dan melalui LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) yang sudah mempunyai lisensi dari BNSP untuk melakukan sertifikasi kompetensi profesi.
Maka dari uraian diatas jelas sekali bahwa yang memiliki kewenangan atas UKW adalan BNSP dan LPS yang sudah mempunyai lisensi dari BNSP untuk melakukan sertifikasi kompetensi profesi tersebut bukan Dewan Pers.
Maka pendapat penulis bahwa hasil UKW yang diadakan Dewan Pers adalah ilegal dan abal-abal.
Adapun legalitas perusahaan pers bukan karena hasil dari verifikasi Dewan Pers tetapi legalitas perusahaan pers yang benar adalah terbitnya surat legal formal dari Kementrian Hukum dan HAM, perlu dipahami bahwa dewan pers tidak ada kewajiban melakukan verifikasi tetapi yang benar sesuai pasal 15 ayat 2 bahwa dewan pers dengan dana milyaran dari pemerintah untuk melakukan pendataan seluruh perusahaan pers yang sudah memiliki legalitas dari kementrian tersebut, itulah yang sesuai perintah dan amanat undang-undang pasal 9 Bab IV UU pers.
2. Dewan Pers bukan legislator tapi fasilitator.
Dewan pers sudah menerbitkan beberapa aturan yang mengikat wartawan, organisasi pers dan organisasi wartawan, seperti statuta dewan pers, standar perusahaan pers, standar UKW dan lain-lain, semua itu telah memasung, membonsai, mengkebiri kreativitas dan kebebasan pers bahkan itu merupakan praktek genosida dunia pers.
Tampaknya dewan pers masih melekat pradigma lama masih menggunakan gaya gaya lama seperti yang tertuang didalam UU No 11 Tahun 1966 dan UU No 21 Tahun 1982, dimana posisi dewan pers adalah perwakilan pemerintah, dengan alasan membina wartawan tetapi malah mengatur dan membatasi wartawan, ini yang dimaksud gagal paham.
Penulis berpendapat Dewan Pers tidak berhak mengeluarkan peraturan-peraturan tentang Pers, karena Dewan Pers di dalam pasal 15 UU Pers disalah satu ayatnya menyebutkan Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers, penulis mengingatkan bahwa yang berhak membuat peraturan itu legislator bukan fasilitator dan Dewan Pers hanya sebagai fasilitator sesuai amanat UU Pers.
3. Dewan Pers adalah lembaga independen dan bukan perwakilan wartawan.
Yang dimaksud Dewan Pers Lembaga Independen adalah lembaga yang menjaga netralitas wartawan termasuk Lembaga Independen itu sendiri dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, ini sesuai pasal 15 ayat 1 UU Pers, jadi Dewan Pers tidak perlu menerbitkan Kesepakatan Bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan instansi-instansi pemerintah, kalau menerbitkan MoU misalnya dengan Polri artinya dewan pers sudah kehilangan makna independensinya bahkan sama juga dewan pers telah mengkerdilkan status dewan pers sendiri, maka penulis berharap dewan pers ini betul-betul independen yang tidak terkooptasi oleh pemerintah.
Begitu juga bahwa Dewan Pers bukan perwakilan wartawan, karena yang dimaksud perwakilan wartawan adalah organisasi wartawan dan perusahaan pers sebagaimana pasal 7 dan 10, jadi posisi Dewan Pers adalah lembaga independen yang membantu kegiatan wartawan dalam mengembangkan dan meningkatkan kehidupan pers, memfasilitasi, membantu menyelesaikan masalah, mendata dan lain-lain sesuai fungsi dewan pers menurut pasal 15 ayat 2.
Disamping itu penulis berpendapat bahwa yang dimaksud Dewan Pers Lembaga Independen menurut UU Pers tidak hanya satu lembaga karena didalam UU tersebut tidak disebutkan bahwa dewan pers itu hanya satu lembaga saja, disini jelas sangat dimungkinkan dibentuk beberapa Dewan Pers yang dianggap mampu mengayomi dan menjadi fasilitator yang baik.
Diharapkan akan muncul beberapa Dewan Pers yang benar-benar mampu menjalankan fungsi sesuai amanat pasal 15 ayat 2 UU Pers, yakni melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers, serta mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, serta mendata perusahaan pers.
Editor: Redaksi.
Pers rilis/Penulis Ketua DPD AWI Provinsi JABAR Aceng Syamsul Hadie, S.Sos.,MM :
Pemerhati media/pers, dosen dan
Mantan anggota DPRD 3 (tiga) periode.