![]() |
Oleh: _Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si_ |
Media Jejakinvestigasi.id ||
Dedi Mulyadi, seorang politikus yang karib disapa Kang Dedi, kerap mencuri perhatian publik bukan hanya karena kiprah politiknya, melainkan juga melalui pendekatan kultural dan spiritualnya yang khas. Dari kacamata antropologi agama, fenomena Dedi Mulyadi menawarkan sebuah jendela untuk memahami bagaimana agama dan spiritualitas berinteraksi dengan kehidupan sosial, politik, dan budaya di masyarakat Sunda kontemporer.
Antropologi agama mempelajari sistem kepercayaan, ritual, dan praktik keagamaan dalam konteks budaya dan sosialnya. Dalam menganalisis Dedi Mulyadi, kita dapat melihat bagaimana ia merepresentasikan, menafsirkan, dan bahkan mempolitisasi elemen-elemen keagamaan dan spiritualitas lokal.
1. Sinkretisme dan Kosmologi Lokal Sunda
Salah satu ciri paling menonjol dari Dedi Mulyadi adalah kedalamannya dalam mengakrabi dan merefleksikan nilai-nilai kosmologi Sunda. Kosmologi Sunda, secara historis, seringkali menunjukkan corak sinkretisme yang kuat, memadukan elemen-elemen animisme, dinamisme, Hindu-Buddha, dan Islam. Dedi Mulyadi seringkali mengacu pada konsep-konsep seperti "jati diri Sunda," "karakter Sunda," atau "filosofi hidup Sunda" yang sarat dengan nuansa spiritual. Ia tidak secara eksplisit memposisikan dirinya sebagai pemuka agama, namun narasi dan tindakannya sering kali merujuk pada prinsip-prinsip moral dan etika yang diyakini bersumber dari tradisi spiritual leluhur Sunda.
Misalnya, ia kerap bicara tentang pentingnya _"silih asah, silih asih, silih asuh"_ (saling mengasah, saling mengasihi, saling mengayomi) atau _"ngajaga alam"_ (menjaga alam) sebagai bagian dari ajaran leluhur. Ini bukan sekadar pepatah, melainkan refleksi dari pandangan dunia yang melihat manusia sebagai bagian integral dari alam semesta yang sakral, di mana keseimbangan spiritual dan material harus dijaga. Ia sering menekankan bahwa ajaran agama seharusnya terwujud dalam perbuatan nyata, bukan hanya lisan. Untuk itu, ia sering melontarkan pernyataan bernada kritik terhadap mereka yang hanya pandai beretorika agama tanpa praktik nyata, seperti ungkapan _"ngaku agama tapi euweuh praktekna"_ (mengaku beragama tapi tidak ada praktiknya), atau mengutip istilah yang ia popularisasi dari teks suci tentang "pendusta agama" bagi mereka yang abai terhadap kaum lemah. Praktik-praktik seperti ziarah ke makam leluhur atau tempat-tempat keramat, yang kerap ia lakukan atau dukung, juga menunjukkan pengakuan terhadap kekuatan spiritual dan kesinambungan dengan masa lalu.
2. Ritual, Simbol, dan Pertunjukan Spiritual
Dedi Mulyadi sangat mahir dalam menggunakan ritual dan simbol yang memiliki makna spiritual dalam interaksinya dengan masyarakat. Penampilannya yang sering mengenakan pakaian adat Sunda, penggunaan bahasa Sunda yang fasih, dan seringnya ia berada di lingkungan pedesaan yang kental dengan tradisi, bukan hanya representasi budaya, melainkan juga sebuah pertunjukan spiritual. Dalam antropologi agama, pertunjukan semacam ini menguatkan identitas kolektif dan menciptakan ikatan emosional dengan audiens.
Ia juga dikenal seringkali melakukan kegiatan yang memiliki nuansa ritualistik, seperti memberi makan ternak secara langsung, berinteraksi dengan orang-orang tua atau difabel dengan sentuhan personal, atau bahkan mandi di sungai. Tindakan-tindakan ini kerap dikaitkan dengan prinsip sedekah (shadaqah) yang ia pahami tidak hanya sebatas memberi uang, tetapi juga "sedekah rasa" atau "sedekah waktu" melalui kehadiran dan kepeduliannya. Ini adalah cara Dedi Mulyadi membangun legitimasi spiritual di mata masyarakat, seolah-olah ia adalah "putra daerah" yang memahami dan menghormati akar-akar kepercayaan mereka.
3. Agama sebagai Kapital Sosial dan Politik
Dalam perspektif antropologi agama, elemen-elemen keagamaan seringkali berfungsi sebagai kapital sosial yang dapat dimobilisasi untuk tujuan tertentu, termasuk politik. Dedi Mulyadi secara efektif memanfaatkan narasi spiritual dan identitas keagamaan/budaya lokal untuk membangun basis dukungan yang kuat. Ketika ia berbicara tentang "kembali ke desa," "pertanian adalah kemuliaan," atau "menghargai _karuhun_ (leluhur)," ia tidak hanya menyampaikan pesan ekonomi atau sosial, tetapi juga mengetuk dimensi spiritual dalam diri masyarakat.
Pendekatan ini memungkinkannya untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan pemerintah dan ekspektasi masyarakat lokal yang masih sangat terikat pada nilai-nilai tradisi dan agama. Dengan menempatkan dirinya sebagai penjaga nilai-nilai luhur dan spiritualitas Sunda, Dedi Mulyadi mampu menciptakan ikatan emosional dan rasa memiliki yang mendalam di kalangan konstituennya. Ini adalah bentuk politisasi agama yang halus, di mana nilai-nilai spiritual digunakan untuk membangun konsensus dan legitimasi kekuasaan, terutama dengan penekanan pada praktik kebaikan dan sedekah yang nyata.
4. Batas dan Kontestasi
Meskipun pendekatannya berhasil membangun basis massa, tentu saja ada batas dan kontestasi. Dalam masyarakat yang semakin plural dan modern, interpretasi terhadap spiritualitas dan agama bisa sangat beragam. Beberapa pihak mungkin melihat pendekatan Dedi Mulyadi sebagai upaya konservasi budaya yang otentik, sementara yang lain bisa jadi mengkritiknya sebagai bentuk mistifikasi atau bahkan eksploitasi simbol agama/budaya untuk kepentingan politik, terutama terkait dengan kritiknya yang tajam terhadap "pendusta agama" yang bisa menimbulkan perdebatan interpretasi.
Pertanyaan yang relevan adalah sejauh mana narasi spiritual ini mampu beradaptasi dengan tantangan modernisasi, globalisasi, dan diversifikasi pandangan keagamaan. Apakah model kepemimpinan yang berakar pada spiritualitas lokal ini dapat relevan di tengah masyarakat yang semakin sekuler atau yang mengadopsi interpretasi keagamaan yang lebih puritan? Antropologi agama mengingatkan kita bahwa makna dan fungsi agama selalu bersifat dinamis dan bisa menjadi arena perebutan makna.
Kesimpulan
Melihat Dedi Mulyadi dari perspektif antropologi agama memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana spiritualitas dan kosmologi lokal Sunda dihidupkan, dipertunjukkan, dan dimobilisasi dalam arena publik dan politik. Ia adalah contoh bagaimana seorang pemimpin dapat memanfaatkan warisan spiritual dan budaya untuk membangun legitimasi, memperkuat identitas, dan bahkan mendorong agenda pembangunan, dengan penekanan pada sedekah sebagai manifestasi nyata iman dan kritik terhadap "pendusta agama" yang abai pada praktik kebaikan.
Fenomena Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia, agama dan spiritualitas bukanlah domain yang terpisah dari kehidupan sosial dan politik, melainkan terjalin erat dalam setiap aspeknya. Dengan terus mengkaji tokoh-tokoh seperti Dedi Mulyadi, antropologi agama dapat lebih memahami dinamika kompleks antara kepercayaan, budaya, dan kekuasaan di tengah masyarakat yang terus berubah.[]
(Redaksi/ASH)