Notification

×

Iklan

Iklan

Aceng Syamsul Hadie: Antar KDM dan HRS, Biarkan Keragaman Terpelihara dan Tidak Perlu Dihakimi

Minggu, Juli 13, 2025 | Juli 13, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-13T01:24:09Z


Media Jejakinvestigasi.id ||

Majalengka - Di tengah lanskap sosial-politik Indonesia yang kompleks, dua tokoh menonjol dengan karakter dan pendekatan yang kontras namun sama-sama kuat: Habib Rizieq Shihab, pendiri Front Pembela Islam (FPI) dan kini pemimpin Front Persaudaraan Islam, serta Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta dan kini Gubernur Jawa Barat.


"Antar Kang Dedi Mulyadi (KDM) dan Habib Rizieq Shihab (HRS) adalah aset dinamika pluralistik di negeri kita, maka biarkan keragaman itu tetap terpelihara dan kita tidak perlu menghakimi antar keduanya", ungkap Aceng Syamsul Hadie, S. Sos., MM. selaku Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional), Sekaligus Pimpinan Redaksi Media Online Jejakinvestigasi.id, Saat ditemui awak media."Minggu (13/07/2025). 


"Keduanya memiliki basis pendukung yang loyal, visi yang tajam, dan keberanian untuk menyuarakan keyakinan mereka—meski sering kali berseberangan", tambah Aceng. 


Habib Rizieq Shihab: Ulama Pejuang Syariat


Habib Rizieq lahir di Jakarta pada 24 Agustus 1965 dan dikenal sebagai ulama yang vokal dalam memperjuangkan penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan publik. Ia mendirikan FPI pada 1998, sebuah organisasi yang dikenal dengan aksi-aksi penegakan moral dan syariat Islam di ruang publik. Meski FPI dibubarkan pemerintah pada 2020, Rizieq tetap aktif melalui Front Persaudaraan Islam.


Sebagai pemimpin spiritual, Rizieq memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam konservatif. Ia sering mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, termasuk dalam hal penggunaan simbol-simbol budaya yang menurutnya bisa mengarah pada syirik atau penyimpangan akidah.


Namun, pendekatan Rizieq sering kali menuai kontroversi. Ia pernah ditahan karena pelanggaran protokol kesehatan dan kasus hukum lainnya. Meski demikian, banyak yang mengaguminya karena keberaniannya menyuarakan pendapat dan konsistensinya dalam memperjuangkan Islam.


Dedi Mulyadi: Politikus Budaya dan Penggerak Kearifan Lokal


Di sisi lain, Dedi Mulyadi lahir di Subang pada 11 April 1971 dan dikenal sebagai politikus yang mengangkat budaya Sunda sebagai identitas publik. Ia menjabat sebagai Bupati Purwakarta selama dua periode dan kini menjadi Gubernur Jawa Barat sejak Februari 2025. Dedi dikenal dengan gaya kepemimpinan yang humanis, inklusif, dan penuh simbol budaya.


Dedi mempopulerkan salam 'Sampurasun' sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya Sunda, membangun patung-patung tokoh pewayangan, dan mempromosikan nilai-nilai welas asih sebagai karakter masyarakat Jawa Barat. Ia percaya bahwa budaya dan agama bisa berjalan berdampingan tanpa saling menegasikan.


Namun, pendekatan ini sering kali berbenturan dengan kelompok konservatif, terutama FPI dan Habib Rizieq. Tuduhan syirik, pelesetan salam adat, dan penolakan terhadap patung-patung menjadi bagian dari perselisihan panjang antara keduanya.


Jejak Perselisihan: Budaya vs Syariat?


Konflik antara Rizieq dan Dedi bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan refleksi dari ketegangan antara dua pendekatan terhadap identitas: budaya lokal dan syariat Islam.


Salah satu titik panas terjadi pada 2015 ketika Rizieq memplesetkan salam 'Sampurasun' menjadi 'Campur Racun', yang dianggap menghina budaya Sunda. Kelompok Angkatan Muda Siliwangi melaporkan pernyataan tersebut ke polisi karena dianggap melecehkan.


Kemudian, Rizieq menuduh Dedi menganut perilaku syirik karena dianggap mendukung ajaran Sunda Wiwitan dan membangun patung-patung. Dedi membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa ia tetap seorang muslim yang taat, serta bahwa penghormatan terhadap budaya tidak berarti mendukung kepercayaan yang bertentangan dengan Islam.


Perselisihan terbaru muncul pada Juli 2025 ketika Dedi mengganti nama RSUD Al Ihsan menjadi RSUD Welas Asih. Rizieq mengkritik keputusan tersebut sebagai bentuk islamofobia dan pemborosan anggaran. Dedi menjelaskan bahwa nama baru tersebut lebih mencerminkan karakter masyarakat Sunda yang penuh kasih sayang.


Dua Tokoh, Dua Jalan, Satu Tujuan?


Meski sering berselisih, keduanya memiliki kesamaan mendasar: mereka sama-sama mencintai Indonesia dan ingin membentuk masyarakat yang lebih baik. Rizieq melalui pendekatan syariat dan moralitas Islam, Dedi melalui pelestarian budaya dan nilai-nilai lokal.


Keduanya juga menunjukkan keberanian dalam menghadapi kritik dan tetap konsisten dengan visi masing-masing. Dalam konteks demokrasi, perbedaan seperti ini bukanlah ancaman, melainkan kekayaan gagasan yang bisa memperkuat fondasi kebangsaan.


"Mengagumi dua tokoh yang sering berseberangan bukanlah hal yang kontradiktif. Justru, itu menunjukkan kedewasaan dalam melihat kompleksitas sosial. Habib Rizieq mengajarkan pentingnya menjaga akidah dan moralitas, sementara Dedi Mulyadi mengingatkan kita akan pentingnya merawat akar budaya dan identitas lokal", jelas Aceng. 


"Keduanya adalah cermin dari dinamika Indonesia yang plural: antara Arab dan Nusantara, antara syariat dan adat, antara idealisme dan pragmatisme. Dalam perbedaan mereka, kita bisa belajar tentang toleransi, dialog, dan pentingnya memahami konteks sebelum menghakimi", pungkasnya. []



Sumber: Aceng Syamsul Hadie, S, Sos., MM. 

Editor : Tim Redaksi

×
Berita Terbaru Update